Yang Dirindukan Bab 8
By Chusnianti
Kebahagiaan yang baru saja dia
rasakan harus ia relakan untuk pergi. Orang yang dia cintai dan sayangi karena
Allah kini telah berpulang kepada Sang Ilahi.
Pelukan hangat yang biasa dia
rasakan kini telah sirna. Orang yang selalu menasihati, membimbing,
menyemangati dan menyayanginya kini harus ia relakan pergi.
Dia selalu berusaha untuk ikhlas,
bahwa semua yang terjadi adalah rencana dari Allah. Dan dibalik kesedihan pasti
ada kebahagiaan.
Yang bisa dia lakukan saat ini
hanyalah bertawakal dan mendokan ia yang telah berpulang supaya diampuni
dosa-dosanya dan diberikan bagian surga oleh Allah.
Dia tidak boleh putus asa. Masih
ada seorang anak yang sangat membutuhkan kasih sayangnya.
Bagaimanapun caranya, dia akan selalu
berusaha. Allah tidak akan mungkin mencoba hambanya diluar kemampuan hamba itu
sendiri.
Masih teringat jelas di benaknya
akan firman Allah, "Sesungguhnya dibalik kesulitan itu pasti ada
kemudahan."
Di depan semua orang dia berusaha
tersenyum. Apapun yang ia hadapi dia selalu tersenyum. Masih teringat jelas
dalam benaknya apa yang terjadi satu minggu yang lalu. Bahkan setiap
mengingatnya, pelukan dari orang yang terkasih itu terasa nyata.
Jodha dan Irul tertidur saling berpelukan setelah
menunaikan ibadah suami istri. Entah ini nyata atau hanya perasaan Jodha saja,
bahwa Irul malam ini terasa lebih luar biasa daripada biasanya.
Mereka berdua selalu bertukar pikiran setiap malam.
Karena di malam harilah waktu meteka bisa bersantai.
"Bagaimana perkembangan Arif, Bunda?" tanya
Irul.
"Alhamdulillah di usia 14 bulan ini Arif sudah mulai
lancar berbiacara, Yah," jawab Jodha.
Irul semakin mengeratkan pelukannya pada Jodha...
"Tidak terasa ya kita bersama sebagai seami istri selama 2 tahun. Padahal rasanya
belum lama Dika mengenalkan kita berdua."
Jodha tersenyum dalam pelukan Irul. Dia merasa sangat
damai dalam pelukan kekasih halalnya.
"Bunda..."
"Iya, Yah..." timpal Jodha.
"Ku kira sudah tidur. Habisnya Bunda nggak jawab
ucapan Ayah."
Bunda sedikit menggeliat dalam pelukan Irul untuk mencari
posisi yang lebih nyaman... "Hemmm... Dika.. ya.. Melalui Dikalah kita
bisa saling mengenal. Dika adalah sahabat pertamaku saat di Surakarta. Melalui
dia juga aku mendapatkan motivasi-motivasi kehidupan. Dan ternyata sepupunya
Dika juga memberikan aku banyak memberikan aku banyak motivasi setelah
kepergian Dika," ucap Jodha dengan sendu.
Irul mengusap punggung istrinya dengan penuh kasih
sayang. Istrinya selalu seperti ini jika teringat akan Dika. Dan Jodha akan
kembali tenang setiap Irul ada di dekatnya dan menyalurkan rasa sayangnya
melalui sentuhan dan perhatiannya.
"Dan sepupu Dika itu kini telah menjadi
sahabatmu," ucap Irul dengan nada humor untuk mencairkan suasana.
Jodha memukul dada Irul dengan manja sambil berusaha
menutupi wajahnya yang merona.
Irul terkekeh dibuatnya... "Usia suatu makhluk tidak
ada yang tahu, sayang... Dika memang telah meninggalkan kita di usia yang masih
muda. Bahkan ada juga yang meninggal saat baru dilahirkan. Usia adalah rahasia
Allah. Kita memang masih bersama saat ini. Tapi siapa yang tahu bahwa besok
dunia kita sudah berbeda? Tidak ada yang tahu apa yang telah direncanakan Allah
kepada kita. Hidup, mati, jodoh, suka, duka, rezeki, kiamat, dan yang lainnya
semua terjadi karena kehendak Allah. Bahkan jika besok aku mati, itu juga
kehendak Allah."
"Mas... jangan bicara seperti itu," rajuk
Jodha. Entah kenapa perasaan Jodha tiba-tiba menjadi tidak tenang.
"Sudahlah... Ini sudah hampir tengah malam. Ayo
berdoa dan kita tidur," ucap Irul.
☆♡☆♡☆♡☆
Dan apa yang dikatakan Irul benar terjadi. Tepat di hari
jumat saat menjelang sepetiga malam, Jodha mendapati tubuh suami dalam
pelukannya terasa dingin. Tidak dirasakan lagi debaran jantung suaminya yang
biasanya sangat menenangkanya dan membuatnya damai.
Biasanya Irul yang selalu bangun terlebih dahulu. Namun
karena ketenangan yang tidak dirasakannya, Jodha menjadi terbangun.
Innalillaahi wainna ilaihi rojiun.
Kalimat tersebut Jodha lantunkan berulang kali. Dia
berusaha ikhlas... akan tetapi dia juga hanyalah manusia biasa.
Orang yang menjadi sandarannya selama ini telah tiada.
Orang yang memiliki tulang rusuk yang ada pada dirinya kini telah tiada.
Jodha menangis sesenggukan. Dia berusaha keras untuk
tidak menangi. Namun apa daya... air matannya terus saja mengalir. Dia berusaha
meredam suaranya supaya tidak membangunkan Arif yang masih terlelap di box bayi
yang tak jauh dari ranjangnya.
Didekapnya dengan erat tubuh dingin suaminya. Inilah
kesempatan terakhirnya untuk memeluk sang suami tercintanya, Irul.
Air matanya semakin memanas. Dadanya semakin terasa
sesak. Sungguh... dia berusaha ikhlas... Tapi... kesedihannya sebagai manusia
biasa sulit digambarkan dengan kata-kata.
Sudah hampir dua jam Jodha menangis hingga terdengar
suara Adzan yang mengingatkan kepada manusia siapa Tuhan mereka dan untuk siapa
mereka hidup.
Jodha menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya
sambil membaca iatighfar berulang kali.
Ia bangkit dari tidurnya berubah menjadi duduk. Sebelum
beranjak, dikecupnya kening Irul dan bibir Irul cukup lama.
Dengan langkah gontai ia berjalan ke kamar mandi untuk
mandi janabat sekaligus air wudhu.
Setelah sholat subuh, Jodha menghubungi semua keluarganya
sambil berusaha menenangkan Arif yang ada di gendongannya.
Arif memang masih kecil. Tapi siapa yang tahu seberapa
kuatnya ikatan antara ayah dan anak. Arif seakan-akan mampu merasakan bahwa
ayahnya kini telah meninggalkan dunia yang fana ini.
Tidak lama kemudian, rumah Jodha sudah dihadiri oleh
tetangga-tetangganya yang melayat dan sebagian membantu memandikan jenazah Irul
sebelum dikafani kemudian disholatkan.
Keluarga Irullah yang datang lebih dulu karena Orang Tua
Irul juga ada di Surakarta, lain halnya dengan Orang Tua Jodha yang ada di Jogjakarta.
Jodha masih tenggelam dalam lamunannya. Dia berusaha
mengendalikan diri supaya terap tenang sehingga Arif yang setia di pelukannya
juga tidak akan menangis.
"Aku harus ikhlas. Aku harus tabah. Aku harus kuat.
Masih ada Arif yang sangat membutuhkanku. Dia masih kecil untuk mengerti hal
ini," tekad Jodha dalam hati.
Jodha berusaha tersenyum dan orang-orang yang melihat pun
tahu bahwa itu senyum yang dipaksakan.
Jalal pun juga hadir disana. Jalal langsung membatalkan
mettingnya saat mendengar kabar tentang meninggalnya Irul. Dia langsung memesan
tiket paling awal untuk terbang ke Surakatnya.
Sesampainya di kediaman Irul dan Jodha, mata Jalal sudah
memerah. Sungguh... dia sangat menyayangi Irul layaknya saudaranya sendiri.
Irul bagaikan rumah baginya. Susah dan senang ia selalu berbagi dengan Irul.
Melalui Irul dia mendapatkan Hidayah sehingga bisa memperbaiki diri dan
mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Tidak sedikit orang yang bersedih akan kepergian Irul.
Irul dikenal sebagai pribadi yang baik dan dermawan. Ia tidak pernah
membeda-bedakan orang. Ia juga tidak sungkan menegur orang yang salah dengan
caranya yang luar biasa.
Dan pada akhirnya jenazah Irul dimakamkan sebelum waktu
sholat jumat. Hanya kaum hawa yang ikut serta mengantarkannya ke liang lahat.
☆♡☆♡☆♡☆
Setelah pemakaman Irul, hanya keluarga Jodha dan Irul
saja yang tetap tinggal. Jalal sudah kembali lagi ke Semarang. Begitu pula
dengan yang lainnya telah kembali ke kediamannya masing-masing.
Hampir satu minggu Orang Tua Jodha menginap di rumah
Jodha. Sedangkan Orang Tua Irul hanya menginap satu malam. Akan tetapi mereka
masih sering mengunjungi Jodha karena rumah mereka tidak jauh.
Mereka masih berusaha membujuk Jodha untuk tinggal
bersama salah satu dari mereka, Orang Tua Irul dan Orang Tua Jodha. Seperti
yang dilakukan Meena saat ini di taman samping rumah sambil melihat Arif yang
bermain bersama Samsul.
"Ayolah, Nak... kamu ikut Ibu dan Bapak ke Jogja,
ya."
"Tidak, Bu... Kan sudah dari awal Jodha bilang kalau
Jodha akan tetap disini mengurusi rumah ini sampai Arif dewasa dan bisa
bertanggung jawab untuk mengurus warisan dari ayahnya," ucap Jodha.
"Haaahhh... Ibu sudah tidak tahu lagi bagaimana
harus membujukmu. Nanti bagaimana dengan Arif jika kamu bekerja?" tanya
Meena dengan frustasi.
"Kan kemarin sudah Jodha bilang, Jodha akan
mengantarkan Arif ke rumah nenek dan kakeknya selama Jodha bekerja. Dan setelah
Jodha selesai bekerja, Jodha akan menjemputnya. Lagian kan rumah Ibunya Mas
Irul juga searah dengan tempat Jodha mengajar. Pokoknya Ibu tenang saja."
"Ya sudah... kamu memang keras kepala. Ibu dan Bapak
nanti sore akan kembali ke Jogja. Kamu baik-baik di rumah. Lusa kamu sudah
mulai bekerja, kan? Jangan lupa istirahat yang cukup. Jangan terlalu memaksakan
diri. Makan yang teratur. Dan apa lagi ya..." ucap Meena sambil berusaha
mengingat ingat apa yang hendak dikatakannya.
"Iya, Bu... Jodha akan mengingat semuanya. Bukankah
sebentar lagi pesawatnya akan segera berangkat?" tanya Jodha.
"Oh iya... Pak... sudah dulu mainnya. Pesawat kita
sebentar lagi akan berangkat. Kita harus segera ke Bandara," seru Meena.
Arif menggeliat dalam dekapan
Jodha sehingga menyadarkan Jodha dari lamunannya.
Malam ini Jodha hanya berdua
bersama Arif. Orang tuanya sudah kembali ke kampung halaman mereka.
Sementara itu, Pak Umar dan Bu
Sita tidur di kamar belakang di dekat dapur. Sepasang suami istri tersebut
dipekerjakan Irul sejak Jodha mengandung Arif.
Jodha semakin mengeratkan
dekapannya. Ya... sejak Irul tiada, Jodha menidurkan Arif di ranjangnya sambil
memeluknya. Kesedihannya seakan sirna setiap ia memeluk Arif.
"Aku harus kuat. Semua pasti
akan indah pada waktunya. Aku harus memenuhi kewajibanku. Allah tidak akan
pernah meninggalkan hambanya yang bertagwa. Insha Allah Arif akan menjadi anak
yang sholih. Aku akan berusaha mendidiknya menjadi anak yang aku dan Mas Irul
harapkan. Dia adalah permata kami. Dan dialah sumber kebahagiaan kami,"
tekad Jodha dalam hati.
"Semoga kamu menjadi anak
yang sholih ya, Nak," ucap Jodha diakhiri kecupan sayang pada kening
putranya.