Written by
Bhavini Shah
Seketika Jodha menjauhkan tangannya
dan bangkit dari tempat tidur dengan tergesa... jantungnya bergemuruh bersama
pikirannya, dia mengetahui siapa aku tanpa perlu melihat wajahku, dia masih
ingat sentuhanku... Senyum percaya diri muncul di wajahnya yang merona, tapi
segera ditahan emosinya dan berkata dengan nada lemah, “Kurasa kau mulai gila,
apa kepalamu juga terluka? Aku mengatakannya beberapa saat yang lalu, aku
Hira... Biarkan aku pergi dan kumasakkan sarapan untukmu.”
Jalal tetap menatap dirinya yang
melangkah pergi dengan penuh teka-teki... Aneh, dia memperhatikan tangannya
beberapa lama. Apapun alasannya, dia merasa tenang setelah sekian lama, hatinya
yang mati rasa mulai bergairah kembali, suasana di sekitar pondok juga terasa
familiar sekali. Dia bertanya pada dirinya sendiri untuk menjernihkan
pikirannya, kenapa suara dan sentuhannya begitu mirip dengan Jodha??? Kenapa
kehadirannya mengingatkanku pada Jodha??
‘Ketika dia menyentuhku, aku merasakan
percikan di dalam tubuhku... Kenapa saat aku tertidur, aku merasa seolah dia
menggenggam tanganku, dan duduk di sebelahku? Oh, itu bukan hanya mimpi... Dia
tidak mungkin orang lain... mungkin dia ingin menyembunyikan dirinya datiku...
mungkin dia tidak tahu bahwa aku sudah menemukan pelaku sebenarnya, kurasa
tidak seorangpun di hutan yang tahu apa yang terjadi di Kesultanan.’
Harapan kembali bersinar dalam hatinya... Dia bisa merasakan aromanya di
sekitar pondok ini... Setiap tanda memberinya harapan... Wajahnya bersinar
dengan keyakinan baru... Jalal ingin melihat wajahnya untuk memastikannya...
Dia ingin lari padanya dan menjawab keraguannya, tapi di saat yang sama hatinya
juga merasa takut... bagaimana kalau aku
salah??? Bagaimana seandainya dia bukan Jodha??? Diyakinkannya hatinya demi
ketenangan jiwanya... Hanya firasat bahwa wanita itu adalah Jodha,
memberikannya kedamaian dan kebahagiaan... Dia putuskan akan menunggu sampai
dia benar-benar yakin....
Hira terburu-buru masuk ke pondoknya,
saat berjalan, dia melihat Nandu yang berumur 5 tahun yang sedang bermain di
pasir. Jodha berkata dengan nada tak senang, “Nandu, kenapa kau belum mandi?
Tapi kau sudah bermain, masuk dan mandilah, aku akan membuatkan Roti
untukmu...”
Nandu menjawab dengan nada kecewa, “Ya
Ibu.”
Sambil terus berjalan, Jodha kembali
berteriak, “Nandu, jangan lupa membawa bajumu dan cepat kembali, jangan
bermain-main di sungai.”
Dengan agak membandel, Nandu berkata,
“Ibu, kumohon, beberapa menit lagi...”
Nandu memohon dengan manisnya... dan
Jodha tidak tega menolak permintaannya, dia tersenyum dan menjawab “Ok, hanya
beberapa menit lagi dan jika aku tidak ada di pondok, maka aku ada di pondok
sebelah... kita ada tamu di Asrama.” Nandu tidak tertarik dengan apapun yang
diceritakannya saat itu... dia lari ke dalam mengambil pakaiannya, lalu lari
keluar lagi dalam beberapa detik saja... Hira berteriak, “Nandu, hati-hati,
jangan lari kau bisa jatuh.” Dia lari dengan kecepatan seperti kereta api
sambil berteriak...”Ya Ibu.”
Hira tersenyum dan berbisik, “Dia
tidak pernah berubah.” Hira bergegas masuk kembali ke pondok dan mengambil
empat wadah besar dan diisi air. Cepat-cepat dia mandi dengan air dingin dan
menyelesaikan puja Kanah dan Aarti. Hatinya dipenuhi pertanyaan... Haruskah aku
memberinya Aarti dan Prasad? Bagaimana jika dia mengenaliku? Dia menguatkan
dirinya untuk tidak akan berbicara kecuali memang penting.
Dengan gugup Jodha masuk sambil
membawa nampan Aart, dilihatnya Jalal duduk di kursi dengan mata tertutup.
Jodha memanggil pelan, “Suniye.”
Dengan mata tertutup, Jalal tersenyum
mendengar kata ‘Suniye’. Karena begitulah cara wanita Hindu memanggil suaminya.
Perlahan dia membuka matanya dan
menjawab pelan, “Caramu memanggilku mengingatkanku pada istriku.”
Tanpa bersuara Jodha mengangsurkan
tangannya memberinya Aarti dan Prasad... lalu, dengan gugup dia berjalan keluar
ruangan.
Gerak-geriknya yang canggung semakin
menguatkan keraguannya.
Jodha berjalan keluar dan segera
memasak roti ala Ameri dan sabji untuk Jalal yang dimasak dengan bumbu Ameri
yang sangat disukai Jalal... Dia juga memberitahu Acharya tentang kesehatannya,
sementara itu, dia juga memanaskan air untuk Jalal mandi dan dua wadah air
hangat untuk dibawa ke pondok Jalal... Karena proses pengobatannya, Jalal
merasa sedikit limbung jadi dia kembali berbaring.
Diam-diam Hira masuk sambil membawa
air dan menyiapkan mandinya... Jalal terbangun karena suara-suara pelan yang
didengarnya dan dilihatnya Hira sedang menyiapkan mandinya.
Hira juga tahu dia sudah bangun dan
bertanya dengan suaranya yang dibuat-buat, “Bagaimana keadaanmu? Merasa lebih
baik?”
Jalal tersenyum kecil mendengar nada
suaranya dan menjawab, “Aku merasa jauh lebih baik dari sebelumny.”
Hira memutar wajahnya ke arahnya dna
berkata dengan nada datar, “Aku sudah menyiapkan air hangat di bak jadi kau
bisa mandi, sementara itu, aku akan menyiapkan makananmu.”
Jalal berusaha bangkit dari tempat
tidur dengan menghela badannya menggunakan lengan kanannya seperti biasa, tapi
karena lukanya dia kembali berteriak kesakitan dan jatuh lagi ke tempat
tidur...
Jodha panik berlari menghampirinya dan
menundukkan tubuhnya untuk membantunya... dilingkarkannya tangan kesekeliling
punggungnya.
Dengan posisi seperti itu, Jodha tak
sadar sudah memeluk Jalal, dan kali ini Jalal dalam kesadaran penuh...
Aroma cendana dari tubuhnya, tidak
mungkin Jalal melupakannya! Sentuhan lembutnya dan perhatiannya menghalau
seluruh keraguannya.... Bukannya berusaha bangkit dari tempat tidurnya, dia
malah melingkarkan tangannya ke sepanjang punggung Jodha dan menariknya hingga
rebah ke atas tubuhnya, untuk sesaat Jodha terlena dalam pelukannya...
Dengan suara parau Jalal berbisik
“JODHA”. Begitu mendengar namanya disebut, Jodha segera tersadar...
Tergesa-gesa dia bangkit dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, lalu
mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri...
Beberapa kali Jalal mencoba melihat
wajahnya, tapi kain Chunni-nya menutupi seluruh mukanya... Saat dia sudah
berdiri tegak, tanpa berkata apa-apa Jodha seakan berlari keluar dari pondok
itu. Tingkah lakunya... kecanggungannya... perhatiannya... kecemasannya... dan
juga sikap diamnya sedikit demi sedikit menambah rasa bahagia dalam hati
Jalal...
Jalal memperhatikan saat dia melarikan
diri darinya, dia tersenyum dan menggumam, “Jodha, silakan kau terus menghindar
tapi aku sudah mengenalimu. Kau sudah menyatu dalam darahku... mana mungkin kau
bisa menyembunyikan wajahmu dan berharap aku tidak akan mengenalimu... Kau
pemilik suara paling merdu... Silakan kau mengubah suaramu tapi aku tetap bisa
mendengar suara merdumu dimanapun. Napasmu yang harum telah meresap ke dalam
paru-paruku... Sampai kapan kau akan bersembunyi... Dan kulitmu yang sehalus
kelopak mawar yang selalu kuingat... Jantungku langsung berdetak hanya dengan
sentuhanmu... Bukan hanya aku, jantungku juga memanggilmu... Mana mungkin kau
lupa kalau kita sudah menjadi satu, jiwa kita telah terhubung... Ayo kita lihat
Jodha Begum, berapa lama kau akan bermain petak umpet denganku..”
Jalal merasa lebih segar setelah
mandi... hanya tersisa sedikit rasa sakit di lengannya... Salep obatnya bekerja
cepat ditambah ketahanan tubuhnya yang memiliki keinginan kuat untuk segera
sembuh... Seperti kebiasaannya setiap hari, dia berdoa kepada Allah... Pada
akhir doanya... dia menengadah ke atas dengan kedua tangannya dan memohon dalam
doanya, “Ya Tuhan... Aku mohon jagalah keyakinanku... Jadikanlah dia Jodha-ku...
Pertemukan aku dengannya... Mohon persatukanlah kami lagi... Mohon kabulkanlah
doaku... Jangan hancurkan hatiku lagi atau... Aku akan mati.”
Jodha sadar sekarang dia tidak bisa
lagi mendekat pada Jalal... Dia sudah mencurigai dirinya... Setiap kali dia ada
di dekatnya, Jalal bisa merasakan kehadirannya lagi dan lagi, dia memanggilnya
Jodha... Dia siapkan makanan di atas piring lalu meminta bantuan Naresh untuk
mengantarkannya pada Jalal.
Tanpa perlu bertanya, Naresh bersedia
dan pergi ke pondok Jalal mengantarkan makanan itu... Dengan sopan dia bertanya
pada Jalal, “Bagaiamana keadaanmu sekarang?”
Jalal menjawab dengan riang, “Jauh
lebih baik dari sebelumnya.”
Melihatnya membawakan piring makanan,
Jalal menjadi kecewa, Sebenarnya dia sudah tidak sabar menunggu Hira
mengantarkan makanan ini jadi dia bisa meyakinkan keraguannya dan membuka
kedoknya.
Naresh bingung karena Jalal tiba-tiba
termenung... Setelah beberapa lama Naresh memecah keheningan itu dengan
bercerita saat dia menemukannya di hutan dan membawanya ke Ashram...
Dengan penuh rasa syukur Jalal
menjawab, “Terima kasih banyak telah menyelamatkan hidupku.”
Naresh menghidangkan roti dan sayuran
untuk Jalal. Saat melihatnya, Jalal langsung menyadari bahwa itu adalah makanan
khas Ameri, senyum kembali merekah di wajahnya, begitu pula saat gigitan
pertama dia mencicipinya, hatinya kembali senang, dia langsung bisa mengenali
makanan kesukaannya... Sekali lagi keraguannya tertepis karena dia tahu makanan
Amer lebih pedas dari ini. Hanya Jodha yang mengerti seberapa pedas makanan
yang mau dimakannya.
Sambil menikmati makanannya, dia
bertanya pada Naresh, “Kau tahu wanita itu, yang merawatku sepanjang malam?”
Naresh menjawab santai, “Yang kau
maksud pasti Hira, dia sangat baik dan wanita terhormat, dan juga pandai dalam
ilmu pengobatan, sesungguhnya dialah yang menyelamatkan nyawamu... Dia
memberikan obat yang tepat untuk menghentikan pendarahanmu, kalau tidak nyawamu
tidak akan tertolong. Saat aku mengantar dokter-nya pulang, dia memuji kepandaian
Hira, tapi sayangnya... dia terdiam karena ragu-ragu.
Perlahan Jalal menyatukan setiap
potongan cerita dan semuanya membentuk gambaran Jodha, memang hanya Jodha yang
memiliki kualifikasi seperti itu...
Jalal langsung menyela, “kenapa
berhenti, apa yang sayang sekali?”
Dengan sedih Naresh bercerita, “Kadang
takdir sangat kejam... Di usianya yang masih muda, suaminya meninggalkannya”
tangannya menunjuk ke arah seorang anak kecil “Kau lihat anak kecil berumur 5
tahun itu, Nandu, yang sedang bermain tanah, itu anaknya... Dia bekerja sangat
keras untuk membesarkannya tanpa sekalipun mengeluh... Aku sungguh merasa iba
melihatnya, aku tidak pernah melihatnya tersenyum dalam enam bulan ini. Seakan
dia sudah menjalani hidupnya dengan sangat berat di usianya yang masih muda.”
Jalal tak percaya yang didengarnya,
“Apa?? Apa yang baru saja kau katakan, seorang anak??”
Sekali lagi Naresh menunjuk ke arah
Nandu yang sedang bermain di halaman.. “Lihat anak kecil yang sedang bermain
itu, dia putranya Hira.”
Jalal sungguh terperangah dengan
penjelasan itu, dia lupa menelan makanannya hingga tersedak keras membuat
matanya pedih...
Dengan gerakan cepat Naresh
mengangsurkan segelas air... Jalal meminum habis air itu tanpa berpikir, untuk
sesaat otaknya lumpuh, semua harapannya hancur dengan satu kalimat dan hatinya
kembali pecah berkeping-keping... Seakan seseorang mengguyur telinganya dengan
air, dia tidak tahu harus berkata apa... Hatinya, bahkan pikirannya sangat
yakin kalau Hira adalah Jodha... Hatinya remuk menjadi ribuan keping saat dia
tahu Hira ternyata seorang Ibu dari anak berumur 5 tahun. Dia berjalan keluar
dari pondok tanpa mengatakan apapun pada Naresh... Naresh melihatnya berlari ke
arah sungai seperti orang gila... Dia juga terkejut atas perubahan sikapnya
yang tiba-tiba...
Jalal benar-benar hancur, dia ingin
membunuh dirinya sendiri karena merasa berdosa telah menyentuh seorang wanita
yang bukan Jodha. Pikiran dan hatinya sama-sama mempertanyakan sikapnya yang
telah berani menyentuh seorang wanita dengan gairahnya. Dia jijik... penuh rasa
bersalah... marah... sedih... dan dalam keadaan yang sungguh tak berdaya...
Naresh membawa kembali piring makanan
Jalal kembali ke pondok Hira dan menceritakan keadaan tamu mereka, pria yang
terluka bersikap aneh... Dia juga menyarankan Hira untuk lebih berhati-hati...
Jodha terkejut mendengar ceritanya,
dia menuntut cerita lengkapnya, “Apa yang terjadi... kenapa kau meragukan pria
itu?”
Naresh menceritakan setiap detail
percakapannya dengan Jalal... Jodha langsung mengerti bahwa sikapnya berubah
karena harapannya hancur sekali lagi... Naresh lalu pergi...
Perasaan Jodha tidak berbeda dengan
Jalal... Dia tahu benar apa yang dirasakannya dan inilah yang dikhawatirkannya
akan terjadi sejak dia melihatnya... Air matanya kembali tumpah, tanpa sadar
dia berlari ke arah sungai untuk melihat Jalal...
Siang itu cuacanya panas dan terik.
Matahari membakar dengan sinarnya.... Riak di sungai bergelombang memantulkan
sinar matahari... Cahaya teriknya membuat tanah terasa menusuk-nusuk kaki....
Sunyi senyap suasananya, hanya beberapa burung yang berkicau mengimbangi
hempasan riak di sungai... Angin bertiup membawa udara hangat... Jalal berjalan
di atas tanah yang membakar tanpa alas kaki sambil menantang matahari... karena
panasnya, matanya terasa terbakar dan berair... Dia berteriak sekencang yang
dia bisa “JODHAaa...” dan jatuh tersungkur... Dia menengadah ke langit dengan
penuh kemarahan sekan meratap kepada Tuhan atas takdirnya yang kejam... hatinya
tersayat-sayat hingga dia tak sadar melantunkan rasa sakitnya bersama air
matanya...
Jodha berdiri di balik sebuah pohon
sambil mengawasi Jalal, airmatanya jatuh berlinang... belum pernah dia merasa
tak berdaya seperti ini...
(Catatan
dari Author: Ini adalah lagu favorit dari film HUM DIL DE CHUKE SANAM...lagu
ini sangat mengena di hati... Bacalah setiap syairnya...dan jika suka
dengarkanlah lagu ini)
Hati yang mati ini
Hati yang mati ini, hati yang mati ini, cintamu yang
menghidupkannya
Dan cintamu jua lah yang menghancurkannya
Dari serpihan perasaan yang putus asa, hatiku telah dikutuk
Aku telah dihukum karena jatuh cinta, kejahatan apa yang telah
kulakukan
(Lalu, kau ambil semuanya dariku... Aku tak punya apa-apa lagi,
aku kehilangan semuanya demi cinta, demi dirimu)
Mendengar ratapannya dengan penuh
kepahitan.... dengan jelas melihat kerinduannya yang sangat dalam terasa
sungguh menyakitkan bagi Jodha... Rasanya tak tertahankan melihatnya dalam
keadaan seperti ini, bahkan setelah enam bulan berlalu. Setiap waktu dia
mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri atas sakit hati yang disebabkannya.
Dia tidak tahan lagi... Jodha mulai membenturkan kepalanya pada pohon di
depannya dengan marah... melihatnya seperti ini.... lebih buruk rasanya
daripada kematian...
Cinta ini sungguh aneh
Kenangan indah yang memabukkan, berubah menjadi harta karun
penuh kesengsaraan
Kau kesakitan dalam kesepian
Kadang menangis, kadang bersedih, kadang mengeluh, kadang
menggumam
Wajahmu muncul dimana-mana
Wajahmu muncul dimana-mana, di siang haripun kenangan akan
dirimu menghantuiku
Kenanganmu juga muncul di kegelapan malam, wajahmu muncul
dimana-mana
Riak-riak dari hati yang hancur berubah menjadi desahan tersiksa
Aku telah dihukum karena jatuh cinta, kejahatan apa yang telah
kuperbuat
Lalu, aku kehilangan semuanya (tak tersisa), ya, kehilangan
semuanya demi cintaku padamu
Jalal mengambil segenggam pasir panas
di tangannya untuk menunjukkan kemarahannya pada Tuhan... Kesedihan hatinya tak
terperih hingga dia tak rasakan lagi rasa sakit karena terbakar...
Jika aku bertemu Tuhan, aku kan bertanya padanya, oh Tuhan
Setelah menciptakan tubuhku dari tanah liat kenapa kau
menciptakan hatiku dari kaca?
Dan di atas itu semua kau mengajariku jatuh cinta, oh betapa
luar biasanya dirimu!
Betapa agungnya ciptaanmu, Ya Tuhan! Dan setelah itu kau
memberikan takdir yang tidak indah, ada pertemuan, ada perpisahan
Rintihan rintihan (isakan tak bersuara), dari hati ini dalam
desahan, aku telah dihukum karena jatuh cinta
Dosa apa yang kuperbuat? Lalu, aku kehilangan semuanya (tak
tersisa) ya, kehilangan semuanya demi cintaku padamu
Dari kehancuran karena keputusasaan, hatiku telah dikutu
Aku telah dihukum karena jatuh cinta, kejahatan apa yang telah
kulakukan?
Lalu, kau rampas semuanya dariku...Aku tak berdaya lagi, aku
telah kehilangan semuanya demi cintaku padamu
Kedua hati mereka benar-benar
hancur... jiwa mereka tak tenang karena luka dalam hati mereka... Jodha duduk
di bawah pohon sambil menangis sesenggukan dan Jalal berbaring di atas panasnya
pasir dengan sangat menyedihkan...
Beberapa saat kemudian, lukanya
menimbulkan rasa sakit akibat terkena pasir yang panas, dirinya tersadar
kembali dan tahu bahwa dia telah kehilangan Jodha selamanya... Dengan berat
hati, dia bangkit dan memutuskan kembali ke istana dan menjauh dari Ashram ini,
tempat yang mempermainkan takdirnya dengan sangat memalukan. Saat berjalan
kembali ke pondoknya, dia melihat Abdul dan beberapa prajurit sedang mencari
dirinya. Jalal merasa sedikit lega setelah melihat Abdul di Ashram. Saat Abdul
melihat Jalal, dia melompat turun dari kudanya dan berlari menghampiri Jalal
dan tanpa mengucapkan apapun langsung memeluk Jalal dengan erat dan penuh
kelegaan... Jalal bisa melihat betapa cemas dan takutnya dirinya, mata Abdul
sampai berkaca-kaca karena bahagianya... Pelukan Abdul terlalu kencang, hingga
Jalal berteriak kesakitan “Ahhh”
Abdul langsung melepaskan pelukannya
untuk memeriksa lukanya... Dia bertanya dengan penuh perhatian “Jalal, kau
baik-baik saja??? Kau terluka??”
Jalal tersenyum kecut dan menjawab
“Abdul, seekor singa tidak pernah terluka... dan ini hanya luka kecil
dibandingkan luka dalam hatiku yang jutaan kali lebih sakit... Ini tidak ada
apa-apanya Abdul.”
Abdul bergetar menyadari perasaan
Jalal yang hancur seperti sebelumnya... Dia sudah menyembunyikan dengan baik
semua kegundahannya selama enam bulan terakhir, lalu apa yang memicu hingga
semuanya muncul lagi ke permukaan??
Kenapa dia terlihat seperti hari pertama saat Jodha begum pergi?? Dia
bertelanjang dada di hari yang sangat panas ini...t angannya terbakar....
Ketika Jodha melihat Abdul, dia merasa
sedikit lega...
Dia baru menyadari kalau dia sudah
terlambat untuk mengajar dan murid-muridnya pasti sedang menunggunya. Dia
berlari ke pondoknya untuk berganti pakaian lalu bergegas ke sekolah...
Matahari bersinar sangat terik
menambah sakit pada tubuh dan hati Jalal yang terluka, melihat hal itu Abdul
menyarankan padanya untuk tinggal selama beberapa jam lagi dan akan mulai
perjalanan mereka ke Shahi Khema pada sore harinya... Jalal setuju dan tanpa
bersuara berbaring kembali ke tempat tidurnya untuk beristirahat beberapa jam
lagi dengan hati yang berat dan pikiran yang penuh mengingat setiap waktu yang
dihabiskannya bersama Hira, tetap saja hatinya bingung dan tidak bisa menerima
kenyataan bahwa Hira bukanlah Jodha, tapi otaknya mengakui dan meyakinkan
hatinya serta memperingatkannya untuk tidak memikirkan tentang wanita itu
lagi... Tangis dan harapannya sudah habis...
Setelah beberapa jam, akhirnya Jalal
bisa kembali tenang, tapi sebelum meninggalkan tempat itu dia pergi menemui
Acharya untuk berterima kasih padanya den berpamitan... Dia juga mengungkapkan
identitas dirinya yang sebenarnya dan dengan sopan memberitahu bahwa jika suatu
saat mereka butuh bantuannya untuk Ashram. Langsung kirimkan surat ke Agra...
Di suatu tempat dalam hatinya yang
kecewa, masih ada setitik harapan tersisa, yang memgalahkan akal sehatnya...
Dia meminta dengan hormat pada Acharya, “Sebelum pergi, aku ingin berterima
kasih secara langsung dengan Hira karena telah merawatku sepanjang malam, jadi
bisakah kau beritahu dimana aku bisa menemuinya?”
Acharya tersenyum dan menjawab,
“Kenapa tidak? Kau bisa menemuinya. Sekarang, biasanya dia sedang mengajar.”
Acharya berjalan keluar dari pondoknya dan menunjukkan arah ke sekolah.
Sedikit membungkuk hormat, Jalal
berucap “Khuda Hafiz” pada Acharya dan berjalan ke arah sekolah...
* * * * * * *
* * * * *